Saya diminta
membimbing mahasiswa magang, tetapi sebagaimana sudah saya ceritakan pada
tulisan sebelumnya, sesungguhnya saya diperintahkan membimbing mahasiswa membuat
laporan magang. Saya mengatakan demikian karena mahasiswa datang kepada saya
menyerahkan laporan magang, tanpa pernah mengkonsultasikan rencana magang. Supaya semua
memahami, dalam membimbing skripsi seorang dosen mulai melakukan pembimbingan bahkan
ketika mahasiswa mulai mencari masalah penelitian, kemudian menyusun proposal,
baru akhirnya menyusun skripsi. Dalam matakuliah magang, tiba-tiba dosen
pembimbing diserahi laporan dan bahkan tiba-tiba seminar sudah dijadwalkan
tanpa persetujuan dosen pembimbing. Ini, bagi saya, membuat matakuliah magang menjadi sedemikian instimewa karena melindas otoritas akademik dosen.
Melalui tulisan
kali ini saya akan menceritakan aspek lain dari keistimewaan magang ini.
Melalui magang seharusnya mahasiswa belajar sesuatu yang lebih baik dari yang
dapat dipelajari di kampusnya sendiri. Boleh saja mahasiswa melakukan magang
penelitian, tetapi melalui magang ini seharusnya mahasiswa dapat belajar metode
penelitian yang lebih baik daripada yang diajarkan di kampusnya sendiri. Bila
tidak, sungguh sangat menyedihkan, sudah magang jauh-jauh ke luar daerah, dengan
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, yang dipelajari ternyata tidak lebih
baik daripada yang dapat dipelajari di kampus sendiri, atau malah sebaliknya.
Seorang mahasiswa
melaporkan hasil penelitian ‘Repelensi Hama Gudang Bawang Merah (Ephestia cautella) dengan Menggunakan
Minyak Atsiri'. Saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan repelensi hama
gudang. Setahu saya, yang menimbulkan repelensi adalah senyawa kimia, sedangkan
hama merupakan pihak yang menerima repelensi. Tapi coba kita
simak apa yang dimaksud dengan repelensi dalam laporan magang yang saya terima:
Pengujian repelensi imago E. cautella
dengan menggunakan alat Olfaktometer, sebanyak 20 ekor imago diletakkan
pada tengah alat kemudian pada masing-masing ujung lengan alat ditetesi 0,5 cc, 1 cc, 1,5cc, 2 cc dan air untuk setiap
perlakuan ekstrak minyak eucalyptus, minyak serai wangi, minyak akar
wangi, minyak kayu manis, minyak jeruk
purut. Pengamatan
dilakukan pada 1, 3, 6, dan 24 Jam setelah perlakuan, dengan menghitung
jumlah imago yang tertarik masuk ke masing-masing lengan alat olfaktometer.
Kemudian, saya juga tidak mengerti, apa
maksudnya menuliskan nama ilmiah Ephestia cautella di belakang frasa ‘Repelensi
Hama Gudang Bawang Merah’. Dalam kuliah-kuliah yang saya berikan, saya tidak
jemu-jemu menyampaikan bahwa penulisan nama ilmiah harus dilakukan dengan
hati-hati. Saya sering memberikan contoh bahwa yang mempunyai nama ilmiah Vigna
radiata adalah tumbuhan kacang hijau sehingga menulis nama ilmiah di belakang
frasa 'bubur kacang hijau' menjadi tidak tepat. Contoh lain yang sering juga saya
sampaikan, nama tumbuhan jagung memang Zea mays, tetapi tidak tepat menulisan
nama ilmiah di belakang frasa ‘pemasaran jagung’. Saya juga sudah pernah
menulis di blog ini mengenai persoalan ini, mungkin perlu sekali lagi dibaca (tulisan
1, tulisan 2). Tapi coba kita simak kembali judul laporan magang yang saya terima, tidak beda dengan menuliskan 'bubur kacang hijau (Vigna radiata)' atau 'pemasaran jagung (Zea mays)'.
Dalam kuliah-kuliah saya, saya
juga sudah mewanti-wanti menyampaikan, bahwa kita harus hati-hati dalam
menghadapi angka. Saya pun pernah menulis dalam blog ini, Gunakan
Akal Sehat dalam Menghadapi Angka: Banyak Angka di Belakang Koma Tidak Selalu
Berarti Lebih Teliti. Tapi mari kita unduh dan simak tabel hasil hasil analisis data
yang disajikan dalam laporan magang yang saya terima. Angka di belakang koma
disajikan sampai dua digit. Saya tidak mengerti angka ini menyatakan apa karena
tabel dalam laporan tidak disertai dengan judul, tetapi saya kira menyatakan
persentase repelensi (entah apa memang sepeti pada kutipan di atas cara mengukurnya).
Yang juga mengejutkan saya
adalah bagaimana data dianalisis. Dari hasil analisis data yang disajikan, saya
mengira-ngira, penelitian yang dilakukan adalah penelitian faktorial yang
terdiri atas dua faktor, faktor pertama adalah jenis minyak atsiri dan faktor kedua
adalah konsentrasi minyak atsiri. Dengan kata lain, dalam penelitian faktorial ini,
faktor pertama bersifat kualitatif, sedangkan faktor kedua bersifat
kuantitatif. Mengenai faktor kualitatif dan kuantitatif ini, saya sudah pernah
membahasnya dalam tulisan Uji
Lanjut Salah Kaprah karena Statistika Dipelajari lebih sebagai Cara Berhitung
daripada Cara Berpikir dan dalam tulisan Sekali
lagi ANOVA: Mengapa Tidak Selalu Harus Menggunakan Analisis Ragam untuk
Menganalisis Data? Analisis data yang dilakukan dalam laporan magang
ternyata mengabaikan kenyataan bahwa konsentrasi adalah faktor kuantitatif sehingga untuk uji lanjut tidak seharusnya digunakan uji pemisahan rerata
semacam uji BNJ. Hal ini karena kita tahu bahwa konsentrasi senyawa kimia yang
lebih tinggi dengan sendirinya menimbulkan efek repelensi yang lebih tinggi.
Apakah repelensi yang lebih tinggi tersebut signifikan atau tidak terhadap
repelensi yang ditimbulkan oleh konsentrasi yang lebih rendah, itu hanyalah
soal pemilihan taraf konsentrasi. Bukankah kalau makan dua piring belum lebih
kenyang daripada makan satu piring maka kita dapat menambah menjadi tiga atau empat
piring supaya bisa lebih kenyang secara signifikan? Dari laporan magang ini, saya
pun akhirnya tidak ragu lagi, sebagaimana dalam tulisan Sekali
Lagi Mengenai Uji Lanjut: Entah Mengapa Kesalahan Terus Saja Berlanjut. Saya tahu
sekarang, kalau magang pun ternyata menjadi cara untuk bukan hanya melanjutkan, tetapi melegitimasi kesalahan.
Bila repelensi diukur sebagai
persentase ‘serangga masuk ke dalam olfaktometer’, sebagaimana ditulis dalam
laporan magang, maka data tanggapan terhadap konsentrasi seharusnya dianalisis
dengan menggunakan analisis probit. Prosedur ini dilakukan untuk menentukan
hubungan antara kekuatan rangsangan dengan proporsi kasus yang menunjukkan
tanggapan mendua (dicotomous) tertentu terhadap rangsangan, seperti halnya hidup atau mati serangga akibat paparan insektisida,
masuk atau tidak masuk ke olfaktometer. Dengan begitu, kita dapat menentukan
kekuatan rangsangan yang diperlukan untuk menimbulkan proporsi tanggapan
tertentu, misalnya konsentrasi yang diperlukan untuk menyebabkan 50 serangga
masuk ke olfaktometer (LC50). Tapi, ternyata tanggapan serangga terhadap
konsentrasi hanya diuji lanjut dengan uji BNJ, padahal data tanggapan dapat
ditransformasi dengan mudah menjadi data probit dengan menggunakan Excel dan kemudian
hasilnya dapat diregresikan dengan konsentrasi, juga dapat dilakukan cukup dengan menggunakan Excel.
Di negeri ini perbedaan ternyata
memang begitu penting untuk 'dicari-cari'. Meskipun kita sudah tahu bahwa
konsentrasi lebih tinggi akan menimbulkan tanggapan lebih tinggi, kita tetap
saja mencari-cari perbedaan di antaranya, sebagaimana halnya 'mencari-cari hal' dari kenyataan bahwa kita
memang berbeda suku, berbeda agama. Apakah penggunaan uji beda semacam ini
terlahir dari kenyataan bawah sadar kita akan begitu pentingnya mencari-cari
perbedaan semacam ini? Atau ini semata-mata terjadi karena, sebagaimana dikatakan
oleh seorang sahabat saya, “Kita bangga orang tertawa karena kita tidak tahu
mereka menertawai kita”. Mudah-mudahan mahasiswa yang menyerahkan laporan kepada saya tidak ikut bangga karenanya. Juga tidak perlu merasa sakit hati karena tulisan ini, sebab bila demikian maka berarti mengiyakan bahwa dia memang merasa 'memiliki' penelitian yang dilaporkannya. Padahal, dia hanyalah korban dari sebuah sistem yang tidak memupuk rasa ingin tahu, sebuah sistem yang mengabaikan cara untuk mencapai tujuan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.