Selamat Datang

Terima kasih Anda sudah berkenan berkunjung. Blog ini dibuat untuk membantu mahasiswa yang sedang saya bimbing menyusun proposal penelitian dan menyusun skripsi. Meskipun demikian, blog ini terbuka bagi siapa saja yang berkenan memanfaatkan. Agar bisa melakukan perbaikan, saya sangat mengharapkan Anda menyampaikan komentar di bawah tulisan yang Anda baca. Selamat berselancar, silahkan klik Daftar Isi untuk memudahkan Anda menavigasi blog ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 28 Juli 2012

Gunakan Akal Sehat dalam Menghadapi Angka: Banyak Angka di Belakang Koma Tidak Selalu Berarti Lebih Teliti

Setiap akhir semester dosen selalu disibukkan dengan memeriksa ujian mahasiswa. Seperti dosen lainnya, saya juga begitu. Bedanya mungkin, kalau dosen lain memeriksa dengan amat sangat teliti, saya memeriksa biasa-biasa saja. Penilaian ujian mahasiswa dilakukan dengan memberi nilai dari 0 sampai 100 dalam skala interval. Mengapa skala interval? Karena bila seorang mahasiswa mendapat nilai 0 bukan berarti mahasiswa tersebut tidak tahu apa-apa. Dalam hal ini 0 menunjukkan perbandingan nisbi dengan mahasiswa lainnya. Skala 0 sampai 100 ini nantinya diubah lagi menjadi 0-4 dengan rambu-rambu konversi: 0-<60=0, =>60-<70=2, =>70-<80=3, =>80=4. Ini mirip dengan mengubah suhu dari derajat Fahrenheit ke derajat Celcius.


Nilai seorang mahasiswa diperoleh dari beberapa orang dosen karena setiap matakuliah diampu (bukan diampuh, sebab ampuh artinya efektif, ampu artinya ajar) bukan oleh seorang dosen, melainkan secara tim. Kebetulan saya bertugas sebagai koordinator sehingga saya harus mengumpulkan nilai dari rekan-rekan dosen yang lain. Dari nilai yang dikumpulkan oleh rekan-rekan dosen yang lain inilah saya menjadi tahu bahwa rekan-rekan dosen lain ternyata amat sangat teliti dalam memberikan nilai. Mengapa saya katakan demikian? Bayangkan saja, dalam skala 0-100, ada rekan dosen yang memberikan nilai sampai dua angka di belakang koma! Misalnya, ada rekan dosen yang memberikan nilai ujian akhir semester 76,23. Saya membayangkan, bagaimana telitinya rekan dosen ini dalam memeriksa jawaban mahasiswa. Yang juga menjadi pertanyaan saya, apakah instrumen soal ujian yang digunakan untuk mengukur hasil belajar mahasiswa memang seteliti itu bila hanya terdiri atas, misalnya, 5 pertanyaan saja?

Sebagai instrumen, soal ujian tidak berbeda dari meteran untuk mengukur panjang sesuatu. Skala meteran adalah cm dan mm. Tapi dengan alasan supaya lebih teliti, banyak orang yang sekolahnya sudah begitu tinggi dan jauh-jauh ke luar negeri pula, mencantumkan hasil pengukuran dengan meteran dengan satuan cm dengan dua dan bahkan tiga angka di belakang koma. Misalnya, tinngi tanaman yang diukur dengan meteran dicantumkan 217,83 cm. Saya membayangkan bagaimana orang ini bisa membedakan 0,03 cm dengan menggunakan meteran yang skala terkecilnya adalah mm. Tidak percaya? Coba saja Anda ambil sebuah penggaris, dan ukur panjang sebuah pensil, apakah mungkin diperoleh ukuran di bawah 1 mm? Belum lagi, dengan alasan hasil penghitungan rerata, seorang pakar mencantumkan padat populasi penggerek padi 5,58 ekor per rumpun. Saya hanya bisa bingung, apakah serangga yang 0,58 ekor itu memang masih layak disebut serangga. Apakah 0,58 ekor serangga masih bisa merusak tanaman padi?

Kembali kepada nilai akhir semester mahasiswa. Untuk bisa benar-benar mengukur sampai ketelitian satu satuan dalam skala 0-100, setidak-tidaknya harus dibuat 100 soal. Dalam hal ini, bila soal yang dijawab benar adalah 87 maka nilainya 87,00 (angka 00 di belakang koma tidak perlu dicantumkan karena bukan merupakan angka nyata, significant digit). Bagaimana supaya dapat memberikan nilai 76,23? Setidak-tidaknya perlu dibuat 10.000 soal!!! Saya yakin tidak ada rekan dosen yang sampai membuat soal sebanyak itu. Saya sendiri biasanya hanya membuat 10 soal dan memberikan rambu-rambu nilai maksimum yang dapat diperoleh bila satu soal dijawab dengan sangat benar, dalam hal ini saya memberikan nilai 10. Untuk setiap nilai yang dijawab setengah benar saya memberi nilai 5. Untuk setiap soal yang dijawab lebih dari setengah benar, saya memberi nilai 6 sampai 9, yang dijawab kurang dari setengah benar saya memberi nilai 1-4. Nilai 1-4 dan 6-9 ini sebenarnya juga bukan merupakan angka nyata, karena sulit membedakan jawaban seperti itu dalam proses penilaian. Oleh karena itu, saya memberikan nilai 3 untuk kurang dari setengah benar, 5 untuk setengah benar, 8 untuk lebih dari setengah benar, dan 10 untuk jawaban yang benar. Dalam skala 0-100, nilai yang saya berikan dapat 83, 70, 65, 88 dsb. Itulah ketelitian yang mampu saya ukur. Saya tidak mampu mengukur ketelitian sampai satu satuan, apalagi sampai dua angka di belakang koma. Lagipula, jika soal yang saya buat hanya 10 nomor, secara akal sehat mustahil dapat mengukur sampai dua angka di belakang koma, meskipun mata kita adalah lensa mikroskop.

Angka seharusnya kita sikapi dengan hati-hati. Mengapa? Karena angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, angka sebagai bilangan, sebagaimana halnya dengan bilangan dalam pelajaran matematika. Dalam pelajaran matematika, berapa pun di belakang koma tidak masalah karena angka di belakang koma itu tidak lebih dari sekedar bilangan, tidak mewakili apa-apa. Kedua, angka sebagai hasil pengukuran, sebagaimana halnya tinggi tanaman yang kita ukur dengan meteran, jumlah penggerek padi yang kita count (maaf, saya sulit menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia), atau nilai mahasiswa yang kita berikan berdasarkan kemampuan mahasiswa menjawab soal dengan benar dan kemampuan kita membedakan dalam menilai jawaban. Ketika kuliah pasti kita pernah belajar metodologi penelitian dan dalam matakuliah itu pasti diajarkan skala pengukuran. Ada skala nominal untuk sekedar membedakan, ada skala ordinal untuk membedakan dan memeringkatkan, ada skala interval untuk membedakan dan memeringkatkan dengan jarak yang sama, dan ada skala rasio untuk membedakan dan memeringkatkan dengan jarak yang serta dengan titik acuan 0 mutlak.

Meskipun orang itu memperoleh nilai metodologi penelitian A dan IP kumulatif 4, dia tetap saja menganggap semua angka sama. Memang aneh, tetapi terus saja terjadi. Pokoknya, kalau sudah angka, pasti dipikirnya kuantitatif. Jenis kelamin laki-laki dengan kode 1 dan perempuan dengan kode 2 juga dipikir kuantitatif sehingga laki-laki ditambah dengan perempuan hasilnya sama dengan tiga. Memang benar untuk pertama kali hasilnya tiga. Kalau diteruskan, laki-laki ditambah dengan perempuan hasilnya bisa empat, lima dan seterusnya, bergantung pada kali ke berapa mereka saling menambah. Begitu juga dengan angka skor yang berskala ordinal (peringkat dengan jarak yang tidak sama). Peringkat berarti semakin tinggi semakin baik (atau sebaliknya), jarak tidak sama berarti jarak 1 antara skor 1 dan 2 tidak sama dengan jarak 1 antara skor 2 dan 3. Bingung?

Bayangkan diri Anda sedang menikmati semangkok bakso di sebuah kedai bakso yang baru dibuka di kota Anda. Teman Anda merekomendasikan kalau bakso di kedai tersebut enak sehingga Anda ingin mencobanya. Anda memesan satu mangkok. Setelah selesai makan satu mangkok, Anda menganggap bakso tersebut kurang enak. Tapi Anda penasaran, sebab teman Anda mengatakan bakso tersebut enak sehingga Anda memesan satu mangkok lagi. Karena baksonya tetap bakso yang sama yang sebelumnya sudah Anda nilai kurang enak, bila bakso tersebut memang kurang enak maka pada mangkok kedua akan menjadi lebih kurang enak (alias tidak enak). Mari sekarang kita buat skor: 1 untuk rasa tidak enak, 2 untuk rasa kurang enak, 3 untuk rasa enak, 4 untuk rasa enak, dan 5 untuk rasa sangat enak. Menurut Anda, rasa bakso mangkok pertama kurang enak (berarti skor 2) dan mangkok kedua tidak enak (berarti skor 1). Anda menghabiskan dua mangkok bakso. Bila saya bertanya kepada Anda, bagaimana rasa kedua mangkok bakso tersebut? Saya yakin jawaban Anda pasti tidak enak (dengan kata lain nilai skornya 1).

Tapi menurut operasi matematika, 1+2=3. Bila operasi matematika dikenakan terhadap skor bakso yang telah Anda nikmati maka 1 ditambah dengan 2 hasilnya adalah 3. Dalam bahasa kata-kata, operasi matematik ini berbunyi, "setelah makan satu mangkok bakso yang rasanya kurang enak dan kemudian menambah satu mangkok kedua yang rasanya tidak enak, dapat disimpulkan bahwa kedua mangkok bakso rasanya enak". Tidak masuk akal memang. Tetapi orang yang sekolah sudah sedemikian tinggi dan di mancanegara pula tetap memperlakukan angka skor seakan-akan sama saja dengan angka interval atau angka rasio. Dalam menganalisis data, mereka mengenakan operasi matematika terhadap angka apapun, termasuk terhadap angka skor. Tidak percaya? Periksa saja bagaimana seorang pakar menentukan intensitas penyakit yang diukur dengan skor, katakanlah 0=tidak berpenyakit, 1=sangat ringan, 2=ringan, 3=agak berat, 4=berat. Kemudian dari hasil pemberian skor tersebut, intensitas penyakit dihitung dengan rumus I=((nxv)/(ZxN))*100, di mana I=intensitas dalam %, n=jumlah satuan pengamatan dengan skor yang sama, v=skor yang diberikan pada satuan pengamatan tertentu, Z=nilai skor tertinggi, yaitu 4, dan N=jumlah satuan pengamatan yang diamati. Rumusnya memang canggih, tetapi di belakang rumus itu terjadi pemutarbalikan skala pengukuran.

Misalkan setelah dilakukan pengamatan ternyata terdapat dua satuan pengamatan dengan keadaan penyakit ringan (skor 2). Dalam perhitungan, nxv=2*2=4. Dengan kata lain, dua kali ringan sama dengan berat. Apakah memang demikian? Belum tentu, sebab kedua satuan pengamatan yang sama-sama diberi skor 2, keadaannya tidak akan selalu benar-benar sama. Kalaupun memang keadaan kedua satuan pengamatan memang benar-benar sama, bagaimana kalau hasil pengamatan ternyata skor kedua satuan pengamatan adalah 3? Dengan demikian n*v=2*3=6. Keadaan penyakit dengan skor 6 ini kategorinya seperti apa? Lalu apa pula gunanya mengubah (bukan merubah, sebab merubah berarti menjadikan sesuatu sebagai binatang rubah) angka skor yang berkisar 0-4 tersebut menjadi persentase dengan kisaran 0-100? Saya tanyakan kepada Anda, bila setelah perhitungan diperoleh angka intensitas penyakit 67%, bagaimana keadaan penyakit dengan intensitas seperti itu? Sangat ringan, ringan, agak berat, atau berat?

Saya tunggu jawaban Anda dengan penjelasan yang dapat memuaskan akal sehat pada kotak komentar di bawah ini. Tapi sebelum Anda menjawab, mari kita menggunakan akal sehat dalam menghadapi angka-angka. Angka, sebagaimana halnya juga huruf, hanyalah lambang. Angka lambang bilangan, huruf lambang bunyi. Bukankah bunyi yang dilambangkan dengan huruf a tidak sama antara dalam Bahasa Indonesia dan dalam Bahasa Inggris?


17 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Pada judul tersebut seharusnya tidak menggunakan tanda baca titik dua. Dan pada kalimat menghadapi angka diganti dengan kalimat menghitung angka. Angka di belakang koma harusnya perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghitung angka-angka yang telah ditetapkan.

Angka seharusnya kita sikapi dengan hati-hati. Karena angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, angka sebagai bilangan, Kedua, angka sebagai hasil pengukuran. Maka dalam menggunakan angkal harus menggunakan akal sehat. Dan kita harus tau kita sedang menggunakan angka dalam hal apa.

Angka seharusnya kita sikapi dengan teliti.Dengan adanya ketelitian , maka angka yang dibuat dapat dipahami.karena angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal,yakni angka sebagai bilangan dan angka sebagai hasil pengukuran. Dalam pelajaran matematika, berapa pun di belakang koma tidak masalah karena itu tidak lebih dari sekedar bilangan.

Kita harus hati-hati dalam menentukan angka di belakang koma karena angka melambangkan setidaknya dua hal,dalam pelajaran metematika berapapun angka di belakang koma tidak mesalah karena angka dibelakang koma itu tidak lebih dari sekedar bilangan,namun berbeda dengan penilaian terhadap nilai dari hasil ujian semester atau pengukuran terhadap tinggi suatu tanaman karena satu angka atau dua angka di belakang koma bukan lagi merupakan angka nyata.

Penilaian ujian mahasiswa dilakukan dengan memberi nilai dari 0-100 dalam skala interval. Karena bila seorang mahasiswa mendapat nilai 0 bukan berarti mahasiswa tersebut tidak tahu apa-apa. Angka seharusnya kita sikapi dengan hati-hati. Karena angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal: angka sebagai bilangan dan angka sebagai hasil pengukuran

Angka seharusnya kita sikapi dengan hati-hati, Karena angka melambangkan setidaknya dua hal, yaitu Pertama, angka sebagai bilangan,yang kedua angka sebagai pengukuran. Maka dalam menggunakan angka seharusnya kita teliti dan hati-hati, dan menggunakan akal yang sehat, kemudian kita juga harus tau kita sedang menggunakan angka dalam hal apa

Pada judul tersebut seharusnya tidak menggunakan tanda baca titik dua. Dan pada kalimat menghadapi angka diganti dengan kalimat menghitung angka. Angka di belakang koma harusnya perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghitung angka-angka yang telah ditetapkan.

Angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, angka sebagai bilangan sehingga berapa pun di belakang koma tidak masalah karena angka di belakang koma itu tidak lebih dari sekedar bilangan, angka sebagai hasil pengukuran, dalam hal ini angka mewakili sesuatu untuk membedakan sehingga angka tersebut tidak dapat dimanipulasi dengan sistem matematika.

Dalam menganalisis angka-angka dibelakang koma perlu dilakukan dengan hati-hati dan teliti karena angka sebagai bilangan dan juga sebagai hasil pengukuran.seperti yang kita ketahui tiga atau empat angka dibelakang koma maka angka tersebut dibulatkan saja.dengan cara dibulatkan maka angka dibelakang koma menjadi berkurang

Angka seharusnya kita sikapi dengan hati-hati. Karena angka melambangkan dua hal : Pertama, angka sebagai bilangan, tidak mewakili apa-apa. Kedua, angka sebagai hasil pengukuran, sebagaimana halnya tinggi tanaman yang kita ukur dengan meteran, atau nilai mahasiswa yang diberikan berdasarkan kemampuan mahasiswa menjawab soal dengan benar.

Menurut saya, kita harus memahami skalah pengukuran yang harus di gunakan misalnya nominal, ordinal, interval, dan rasio. Jangan sampai skalah pengukuran yang di gunakan kurang tepat sehingga memalukan kesalahan yang tidak masuk akal, dan kita tidak perna menyadari itu semua bahwa kita telah melakukan kesalahan, maka dari itu kita harus merubah kebiasaan dan pola pikir kita yaitu belajar dengan cara yang benar

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Terkadang kita lupa untuk membedakan skala bilangan yang kita gunakan, dan bisa mempertanggung jawabkan angka yang kita gunakan, Karena angka melambangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, angka sebagai bilangan, sebagaimana halnya dengan bilangan dalam pelajaran matematika. Dalam pelajaran matematika, berapa pun di belakang koma tidak masalah karena angka di belakang koma itu tidak lebih dari sekedar bilangan, tidak mewakili apa-apa. Kedua, angka sebagai hasil pengukuran, sebagaimana halnya tinggi tanaman yang kita ukur dengan meteran.

Wow, memberi komentar singkat saja harus sama, sepertinya ada janian dengan HR

Kompak dengan AD, sudah janjian rupanya ...

Posting Komentar

Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.

Bila Anda perlu membuat deskripsi tanaman sebagai bagian dari penyusunan proposal penelitian atau skripsi, kunjungi blog Tanaman Kampung atau Tumbuhan Bali, mudah-mudahan bisa membantu.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites