Saya bukan seorang penulis, tetapi sebagai dosen tentu saja saya belajar menulis. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa sebagai dosen, sebagian dari pekerjaan saya adalah menulis. Karena itu, sejak awal saya mulai belajar menulis dan sampai kini tetap masih belajar menulis. Bukan hanya belajar menulis akademik (academic writing), saya bahkan juga belajar menulis dengan gaya lain. Menulis blog misalnya, saya menggunakan gaya yang berbeda dengan ketika menulis laporan penelitian. Saya belajar menulis karena sebagai dosen saya merasa harus bisa menulis. Bukankah dosen harus melakukan penelitian sebagai bagian dari tugas tridharma?
Bagaimana saya belajar menulis? Menulis memerlukan perbendaharaan kata. Karena itu saya senantiasa berusaha menambah kosa kata dengan berbagai cara, membaca kamus misalnya. Untungnya, saya sangat dalam hal ini karena saya menguasai Bahasa Inggris. Sebagian dari kata-kata dalam Bahasa Indonesia diturunkan dari Bahasa Inggris, terutama kata-kata yang merupakan istilah ilmiah. Selain itu saya juga terbantu oleh sedikit pengetahuan mengenai kata-kata Bahasa Sanskerta karena Bahasa Indonesia juga menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Selebihnya, tentu saja dari membaca, membaca novel misalnya. Atau membaca esai yang ditulis oleh penulis terkemuka seperti Goenawan Mohamad misalnya. Sejak lama saya selalu membaca Catatan Pinggir di majalah berita mingguan Tempo karena di situ saya sering menemukan kata-kata untuk menambah perbendaharaan kata.
Manulis, pada gilirannya, berkaitan dengan bagaimana merangkaikan kata-kata menjadi sebuah kalimat. Ada berbagai macam kalimat. Membuat kalimat dalam ragam tulisan akademik tentu berbeda dengan kalimat dalam ragam cerita pendek, novel, atau bahkan esai. Struktur kalimat dalam tulisan ini misalnya, tentu tidak sama dengan struktur kalimat dalam ragam tulisan akademik dalam Bahasa Indonesia yang terlalu banyak menggunakan kalimat pasif. Dahulu, ketika saya masih seorang mahasiswa S1, saya pernah bertanya kepada dosen pembimbing skripsi saya, mengapa dalam menulis skripsi harus digunakan kalimat pasif. Jawaban yang saya peroleh adalah supaya impersonal, supaya terhindar dari subyektivitas penulis. Saya mengikutinya. Tetapi ketika saya meneruskan kuliah S2 di Kanada, dosen saya meminta supaya saya menulis tesis dengan ragam aktif. Saya kembali bertanya mengapa. Jawabannya, saya harus bertanggung jawab atas penelitian yang saya lakukan. Dengan menulis dalam ragam aktif saya menyatakan bahwa memang saya yang melakukan penelitian, bukan orang lain. Tentu saja, setelah kembali ke Indonesia, kembali saya harus menggunakan ragam kalimat pasif, sebab kalau tidak, proposal penelitian saya akan ditolak hanya karena saya tidak menulis dalam ragam kalimat pasif.
Setelah menyusun kalimat lalu apa? Kalimat perlu dikembangkan menjadi alinea. Dengan kata lain, saya perlu menentukan kalimat yang menjadi inti dari sebuah alinea dan kalimat-kalimat lain untuk mengembangkan alinea tersebut. Selain itu, saya perlu menambahkan kalimat transisi untuk menghubungkan satu alinea dengan alinea lainnya sehingga alur tulisan menjadi terstruktur. Bagaimana saya mempelajarinya? Sebelum mulai menulis, saya terlebih dahulu membuat alur tulisan. Maksud saya, saya membuat alur mengenai apa yang saya tulis pada alinea pertama, alinea kedua, dan seterusnya. Alinea pertama tentu saja alinea pembuka yang perlu disusun sedemikian sehingga menggugah orang untuk membaca. Dan alinea terakhir tentu saja adalah alinea penutup yang menyajikan ringkasan dari alinea-alinea sebelumnya.
Lalu apa pula itu narasi, dsekripsi, eksposisi, persuasi? Banyak teman saya menganggap bahwa menulis sama artinya dengan membuat narasi. Mereka mengatakan menarasikan tabel, menarasikan grafik. Entah bagaimana bisa mereka mengartikan narasi seperti itu. Padahal, narasi merupakan gaya menulis dengan menggunakan urutan bagian-bagian untuk menjelaskan sesuatu. Karena itu, gaya ini banyak digunakan dalam penulisan cerita pendek atau novel. Karena itu pula, bukan gaya ini yang seharusnya digunakan untuk menjelaskan sebuah tabel. Lalu bagaimana dengan deskripsi? Deskripsi merupakan gaya penulisan untuk menjelaskan sesuatu secara rinci. Menguraikan ciri-ciri morfologi tanaman, ciri-ciri morfologhi serangga, dan sebagainya, semestinya dilakukan dengan gaua ini. Lantas bagaimana dengan eksposisi? Ini adalah gaya penulisan untuk mengemukakan argumentasi. Dalam tulisan akademik, gaya ini digunakan dalam perumusan masalah dan dalam pembahasann hasil penelitian. Dan, terakhir, persuasi? Persuasi adalah tulisan untuk mempengaruhi orang melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan dalam tulisan. Tulisan untuk mengiklankan barang, atau mengiklankan diri sebagaimana yang dilakukan calon pejabat, menggunakan gaya ini.
Lalu bagaimana dengan tanda baca, apakah memang sedemikian penting? Tentu saja. Sayangnya, hal ini merupakan hal yang kurang diperhatikan. Bahkan, hampir seluruh mahasiswa yang saya bimbing tidak bisa meletakkan tanda baca dalam posisi yang benar. Mereka meletakkan tanda baca secara tidak konsisten. Tanda titik dan koma diletakkan mene,pel dengan kata yang diikutinya, tetapi tanda baca lainnya, tanda titik dua, garis miring, tannda hubung, selalu diletakkan terpisah satu ketuk dengan kata yang diikutinya. Lagi pula, mereka selalu meletakkan tanda koma sebelum kata maka dan sehingga, padahal kedua kata ini menrupakan kata sambung.
Pada jaman teknologi informasi sekarang ini, menulis tentu saja dilakukan tidak lagi dengan menggunakan mesin tik, melainkan dengan menggunakan komputer. Tidak lagi seperti pada jaman saya belajar menggunakan komputer dahulu, saat ini komputer bukan lagi merupakan barang mewah yang harganya mahal. Saat ini, setiap dosen dan sebagian besar mahasiswa telah terbiasa menjinjing notebook, netbook, atau bahkan notepad. Hanya saja, mungkin karena sekian lama terbiasa menggunakan mesin tik, masih banyak orang yang mengetik dengan komputer tetapi dengan cara menggunakan mesin tik. Maksud saya, mereka mengetik secara manual sebagaimana halnya menggunakan mesin tik. Padahal, dengan menggunakan komputer, banyak hal yang harus diatur sesuai dengan kemauan program aplikasi yang digunakan. Saya sudah menyediakan panduan pengetikan dan menyediakan tautan luar untuk mengunduh panduan penggunaan Office 2007, tetapi file yang saya terima tetap saja file yang dibuat menggunakan komputer tetapi dengan cara mengetik menggunakan cara mesin tik. Saya bukan ahli dalam menggunakan Office, tetapi saya senantiasa berusaha belajar.
Apakah menulis memang sulit? Bagi penulis "Menulis Itu Gampang" tentu saja jawabannya adalah mudah. Saya termasuk tidak setuju bahwa menulis itu mudah, tetapi bukan berarti saya ingin mempersulit. Bagi saya, menulis sering lebih sulit daripada mengerjakan rumus-rumus matematika. Menulis itu memperosalkan rasa, rumus-rumus mematikan rasa. Menulis menuntut setiap orang mengerjakannya dengan cara masing-masing, mengerjakan rumus menuntut semua orang mengerjakannya dengan cara yang kurang lebih sama. Karena itu maka saya senantiasa belajar bernegosiasi di antara dua kutub: subyektivitas dan obyektivitas. Bukan karena saya ingin menjadi penulis, tetapi karena saya ingin orang bisa memahami tulisan saya sebagaimana yang saya maksudkan. Saya membuat tulisan ini untuk mengajak bersama-sama belajar menulis, bukan untuk menggurui orang menulis dengan mengatakan bahwa menulis itu gampang. Bila kemudian Anda merasa, setelah memmbaca tulisan ini, telah memahami apa yang saya maksudkan maka saya telah bisa belajar menulis. Bila kemudian Anda mengalami kesulitan untuk memahami maka itu wajar karena menulis ternyata tidak mudah dan saya sedang belajar menulis.
Bagaimana saya belajar menulis? Menulis memerlukan perbendaharaan kata. Karena itu saya senantiasa berusaha menambah kosa kata dengan berbagai cara, membaca kamus misalnya. Untungnya, saya sangat dalam hal ini karena saya menguasai Bahasa Inggris. Sebagian dari kata-kata dalam Bahasa Indonesia diturunkan dari Bahasa Inggris, terutama kata-kata yang merupakan istilah ilmiah. Selain itu saya juga terbantu oleh sedikit pengetahuan mengenai kata-kata Bahasa Sanskerta karena Bahasa Indonesia juga menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Selebihnya, tentu saja dari membaca, membaca novel misalnya. Atau membaca esai yang ditulis oleh penulis terkemuka seperti Goenawan Mohamad misalnya. Sejak lama saya selalu membaca Catatan Pinggir di majalah berita mingguan Tempo karena di situ saya sering menemukan kata-kata untuk menambah perbendaharaan kata.
Manulis, pada gilirannya, berkaitan dengan bagaimana merangkaikan kata-kata menjadi sebuah kalimat. Ada berbagai macam kalimat. Membuat kalimat dalam ragam tulisan akademik tentu berbeda dengan kalimat dalam ragam cerita pendek, novel, atau bahkan esai. Struktur kalimat dalam tulisan ini misalnya, tentu tidak sama dengan struktur kalimat dalam ragam tulisan akademik dalam Bahasa Indonesia yang terlalu banyak menggunakan kalimat pasif. Dahulu, ketika saya masih seorang mahasiswa S1, saya pernah bertanya kepada dosen pembimbing skripsi saya, mengapa dalam menulis skripsi harus digunakan kalimat pasif. Jawaban yang saya peroleh adalah supaya impersonal, supaya terhindar dari subyektivitas penulis. Saya mengikutinya. Tetapi ketika saya meneruskan kuliah S2 di Kanada, dosen saya meminta supaya saya menulis tesis dengan ragam aktif. Saya kembali bertanya mengapa. Jawabannya, saya harus bertanggung jawab atas penelitian yang saya lakukan. Dengan menulis dalam ragam aktif saya menyatakan bahwa memang saya yang melakukan penelitian, bukan orang lain. Tentu saja, setelah kembali ke Indonesia, kembali saya harus menggunakan ragam kalimat pasif, sebab kalau tidak, proposal penelitian saya akan ditolak hanya karena saya tidak menulis dalam ragam kalimat pasif.
Setelah menyusun kalimat lalu apa? Kalimat perlu dikembangkan menjadi alinea. Dengan kata lain, saya perlu menentukan kalimat yang menjadi inti dari sebuah alinea dan kalimat-kalimat lain untuk mengembangkan alinea tersebut. Selain itu, saya perlu menambahkan kalimat transisi untuk menghubungkan satu alinea dengan alinea lainnya sehingga alur tulisan menjadi terstruktur. Bagaimana saya mempelajarinya? Sebelum mulai menulis, saya terlebih dahulu membuat alur tulisan. Maksud saya, saya membuat alur mengenai apa yang saya tulis pada alinea pertama, alinea kedua, dan seterusnya. Alinea pertama tentu saja alinea pembuka yang perlu disusun sedemikian sehingga menggugah orang untuk membaca. Dan alinea terakhir tentu saja adalah alinea penutup yang menyajikan ringkasan dari alinea-alinea sebelumnya.
Lalu apa pula itu narasi, dsekripsi, eksposisi, persuasi? Banyak teman saya menganggap bahwa menulis sama artinya dengan membuat narasi. Mereka mengatakan menarasikan tabel, menarasikan grafik. Entah bagaimana bisa mereka mengartikan narasi seperti itu. Padahal, narasi merupakan gaya menulis dengan menggunakan urutan bagian-bagian untuk menjelaskan sesuatu. Karena itu, gaya ini banyak digunakan dalam penulisan cerita pendek atau novel. Karena itu pula, bukan gaya ini yang seharusnya digunakan untuk menjelaskan sebuah tabel. Lalu bagaimana dengan deskripsi? Deskripsi merupakan gaya penulisan untuk menjelaskan sesuatu secara rinci. Menguraikan ciri-ciri morfologi tanaman, ciri-ciri morfologhi serangga, dan sebagainya, semestinya dilakukan dengan gaua ini. Lantas bagaimana dengan eksposisi? Ini adalah gaya penulisan untuk mengemukakan argumentasi. Dalam tulisan akademik, gaya ini digunakan dalam perumusan masalah dan dalam pembahasann hasil penelitian. Dan, terakhir, persuasi? Persuasi adalah tulisan untuk mempengaruhi orang melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan dalam tulisan. Tulisan untuk mengiklankan barang, atau mengiklankan diri sebagaimana yang dilakukan calon pejabat, menggunakan gaya ini.
Lalu bagaimana dengan tanda baca, apakah memang sedemikian penting? Tentu saja. Sayangnya, hal ini merupakan hal yang kurang diperhatikan. Bahkan, hampir seluruh mahasiswa yang saya bimbing tidak bisa meletakkan tanda baca dalam posisi yang benar. Mereka meletakkan tanda baca secara tidak konsisten. Tanda titik dan koma diletakkan mene,pel dengan kata yang diikutinya, tetapi tanda baca lainnya, tanda titik dua, garis miring, tannda hubung, selalu diletakkan terpisah satu ketuk dengan kata yang diikutinya. Lagi pula, mereka selalu meletakkan tanda koma sebelum kata maka dan sehingga, padahal kedua kata ini menrupakan kata sambung.
Pada jaman teknologi informasi sekarang ini, menulis tentu saja dilakukan tidak lagi dengan menggunakan mesin tik, melainkan dengan menggunakan komputer. Tidak lagi seperti pada jaman saya belajar menggunakan komputer dahulu, saat ini komputer bukan lagi merupakan barang mewah yang harganya mahal. Saat ini, setiap dosen dan sebagian besar mahasiswa telah terbiasa menjinjing notebook, netbook, atau bahkan notepad. Hanya saja, mungkin karena sekian lama terbiasa menggunakan mesin tik, masih banyak orang yang mengetik dengan komputer tetapi dengan cara menggunakan mesin tik. Maksud saya, mereka mengetik secara manual sebagaimana halnya menggunakan mesin tik. Padahal, dengan menggunakan komputer, banyak hal yang harus diatur sesuai dengan kemauan program aplikasi yang digunakan. Saya sudah menyediakan panduan pengetikan dan menyediakan tautan luar untuk mengunduh panduan penggunaan Office 2007, tetapi file yang saya terima tetap saja file yang dibuat menggunakan komputer tetapi dengan cara mengetik menggunakan cara mesin tik. Saya bukan ahli dalam menggunakan Office, tetapi saya senantiasa berusaha belajar.
Apakah menulis memang sulit? Bagi penulis "Menulis Itu Gampang" tentu saja jawabannya adalah mudah. Saya termasuk tidak setuju bahwa menulis itu mudah, tetapi bukan berarti saya ingin mempersulit. Bagi saya, menulis sering lebih sulit daripada mengerjakan rumus-rumus matematika. Menulis itu memperosalkan rasa, rumus-rumus mematikan rasa. Menulis menuntut setiap orang mengerjakannya dengan cara masing-masing, mengerjakan rumus menuntut semua orang mengerjakannya dengan cara yang kurang lebih sama. Karena itu maka saya senantiasa belajar bernegosiasi di antara dua kutub: subyektivitas dan obyektivitas. Bukan karena saya ingin menjadi penulis, tetapi karena saya ingin orang bisa memahami tulisan saya sebagaimana yang saya maksudkan. Saya membuat tulisan ini untuk mengajak bersama-sama belajar menulis, bukan untuk menggurui orang menulis dengan mengatakan bahwa menulis itu gampang. Bila kemudian Anda merasa, setelah memmbaca tulisan ini, telah memahami apa yang saya maksudkan maka saya telah bisa belajar menulis. Bila kemudian Anda mengalami kesulitan untuk memahami maka itu wajar karena menulis ternyata tidak mudah dan saya sedang belajar menulis.
1 komentar:
Bagi saya, menulis juga membutuhkan rasa ingin berbagi, rasa ingin memberikan ruang bagi orang yang memiliki rasa yang sama. Dan, penulis-penulis adalah orang yang selalu ingin belajar karena dengan menulis kita tahu bahwa ternyata banyak hal yang ternyata belum kita ketahui...
Posting Komentar
Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.