Selamat Datang

Terima kasih Anda sudah berkenan berkunjung. Blog ini dibuat untuk membantu mahasiswa yang sedang saya bimbing menyusun proposal penelitian dan menyusun skripsi. Meskipun demikian, blog ini terbuka bagi siapa saja yang berkenan memanfaatkan. Agar bisa melakukan perbaikan, saya sangat mengharapkan Anda menyampaikan komentar di bawah tulisan yang Anda baca. Selamat berselancar, silahkan klik Daftar Isi untuk memudahkan Anda menavigasi blog ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 05 Juni 2011

Uji Lanjut Salah Kaprah karena Statistika Dipelajari lebih sebagai Cara Berhitung daripada Cara Berpikir

Sekali waktu, teman saya Pak Budi -yang biasa membantu teman-teman mahasiswa dan dosen menganalisis data secara statistik- datang kepada saya menanyakan bagaimana cara melakukan uji polinomial ortogonal (orthogonal polunomial test). Menghadapi pertanyaannya, saya pun kemudian balik bertanya, data apa yang mau diuji polinomial ortogonal? Dia menjelaskan bahwa ada seorang teman dosen penerima hibah penelitian DP2M Dikti yang meminta tolong untuk menganalisis data percobaan faktorial 2 x 2 x 2 dengan permintaan bahwa setelah analisis ragam (analysis of variance) supaya dilakukan uji polinomial ortogonal untuk melihat kemungkinan terjadinya interaksi. Mendengar penjelasan begitu, saya hanya dapat terhenjak kaget, seperti inikah pemaxaman para peneliti kuantitatif mengenai teknik analisis statistika?

Ada dua hal yang sebenarnya dikacaukan di sini. Pertama, pengertian interaksi dalam percobaan faktorial. Kedua, pemahaman mengenai uji lanjutan yang biasa dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap hasil analisis ragam. Kedua kekacauan ini memerlukan penjelasan yang cukup panjang sehingga di sini saya hanya akan jelaskan satu di antaranya, yaitu uji lanjutan setelah analisis ragam. Mengenai konsep interaksi dalam percobaan faktorial nanti akan saya jelaskan tersendiri. Penjelasan mengenai uji lanjutan ini perlu saya dahulukan karena memang terlanjur terjadi banyak salah kaprah, sedemikian kacaunya sehingga saya menjadi sangat terusik karena bukan hanya saya temukan pada skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian, tetapi juga pada buku teks perancangan percobaan yang ditulis di negeri tercinta ini.

Sebagaimana yang pernah saya pelajari ketika saya mengambil matakuliah Statistika Lanjutan dahulu ketika kuliah di McGill University, uji lanjutan yang bisa dilakukan sebagai tindak lanjut analisis ragam sebenarnya ada tiga kategori. Kategori pertama adalah yang disebut dengan uji pembandingan ganda (multiple comparison test). Uji ini ada banyak macamnya, tetapi yang mungkin paling populer di Indonesia adalah uji Duncan (lengkapnya uji jarak ganda Duncan, Duncan’s multiple range test). Kategori kedua adalah uji kontras polinomial atau pembandingan polinomial. Kategori ketiga adalah uji yang disebut oleh Pak Budi tadi, yaitu polinomial ortogonal. Ketiganya merupakan kategori yang berbeda sehingga penggunaannya juga seharusnya berbeda. Faktor yang sangat menentukan ketepatan penggunaannya adalah karakteristik perlakuan yang dqtanya telah dianalisis ragam dan perlu ditindaklanjuti dengan satu di antara ketiga kategori uji ini.

Perlakuan merupakan intervensi yang diberikan kepada obyek penelitian yang dilibatkan dalam suatu percobaan. Untuk memudahkan memahami, ambil sebagai contoh penelitian untuk meningkatkan produksi jagung. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung, misalnya memilih varietas, mengatur jarak tanam, melakukan pemupukan, memperbaiki pola pertanaman, dan sebagainya. Katakan misalnya dari banyak faktor tersebut dipilih faktor pemupukan maka pemupukan merupakan perlakuan. Ketika dikenakan terhadap obyek percobaan, pemupukan diberikan bervariasi. Di sini kembali dapat dipilih berbagai faktor variasi, misalnya variasi jenis pupuk, variasi dosis pupuk, variasi waktu pemupukan, dan sebagainya. Variasi pemupukan yang dipilih untuk dicobakan merupakan taraf perlakuan. Misalnya dipilih variasi jenis pupuk maka jenis pupuk merupakan taraf dalam perlakuan pemupukan. Kalau dipilih variasi dosis maka dosis merupakan taraf dalam perlakuan pemupukan.

Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa taraf perlakuan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Misalnya, jenis pupuk adalah taraf perlakuan pemupukan yang bersifat kualitatif. Pada taraf perlakuan yang bersifat kualitatif, kita tidak mengetahui jarak (perbedaan) antara dua taraf berurutan. Misalnya, pada taraf pemupukan dengan jenis pupuk kompos daun chromolaena, daun gamal, dan daun turi kita tidak mengetahui perbedaan antara daun chromolaena dan daun gamal, antara daun gamal dan daun turi, dan antara daun chromolaena dan daun turi. Oleh karena jarak antar taraf jenis pupuk ini kita tidak ketahui maka kita tidak dapat memperikirakan mana di antara ketiga jenis pupuk tersebut yang akan paling mampu meningkatkan hasil jagung. Berbeda dengan pada taraf perlakuan kualitatif, pada taraf perlakuan kuantitatif kita mengetahui dengan pasti jarak antar taraf perlakuan. Misalnya, pada perlakuan dosis pupuk kompos daun chromolaena dengan taraf 50, 100, dan 150 kg per hektar kita mengetahui jarak antara 50 kg dan 100 kg, antara 100 kg dan 150 kg, dan antara 50 kg dan 150 kg. Karena jarak antar taraf perlakuan kita ketahui maka dengan mendasarkan pada teori pemupukan kita dapat menentukan bahwa dosis 150 kg akan memberikan hasil lebih tinggi daripada hasil pada dosis 100 kg dan dosis 100 kg akan memberikan hasil lebih tinggi daripada hasil pada dosis 50 kg (dengan asumsi tanggapan tanaman masih positif terhadap peningkatan dosis).

Apa konsekuensi karakteristik taraf perlakuan terhadap pemilihan uji yang akan digunakan sebagai tindak lanjut terhadap hasil analisis ragam? Pertama-tama, perlu saya kemukakan terlebih dahulu bahwa uji lanjutan terhadap hasil analisis ragam dilakukan terhadap peubah (variable) percobaan (bukan parameter percobaan) yang hasil analisis datanya menunjukkan perbedaan nyata. Bila misalnya, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pupuk ternyata memberikan pengaruh nyata maka kita tentu ingin mengetahui, di antara tiga taraf yang diuji, yang manakah yang memberikan hasil paling tinggi. Untuk itu kita mempunyai dua pilihan: pertama membandingkan setiap pasangan dosis dan kedua membandingkan pasangan dosis yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk pilihan pertama kita menggunqkan uji pembandingan ganda, sedangkan untuk pilihan kedua kita menggunakan uji pembandingan ortogonal.

Kapan kita menggunakan uji pembandingan ganda dan kapan menggunakan uji pembandingan ortogonal? Uji pembandingan ganda kita pilih manakala kita sama sekali tidak memiliki informasi apapun mengenai taraf perlakuan yang akan kita bandingkan. Sebaliknya, uji pe}bandingan ortogonal kita pilih manakala kita telah mempunyai informasi tertentu mengenai taraf perlakuan yang kita bandingkan. Mari kita lihat contoh perlakuan pupuk kompos dengan taraf kompos daun chromolaena, daun gamal, dan daun turi, informasi apakah yang kita miliki. Dari tiga taraf perlakuan tersebut ternyata dua yang terakhir adalah daun tumbuhan legum, sedangkan taraf yang pertama bukan. Bila demikian, tentu ada baiknya bila kita dapat mebandingkan bagaimana perbedaan antara kompos tanaman legum dan kompos bukan tanaman legum. Hal ini dapat kita capai dengan menggunakan uji pembandingan polinomial dengan pembandingan yang terdiri atas kompos daun chromolaena vs kompos daun gamal dan daun turi serta kompos daun gamal vs kompos daun turi. Dalam pembandingan ortogonal, jumlah pembandingan yang dapat kita buat selalu n-1, yaitu jumlah taraf perlakuan dikurangi dengan satu.

Lalu apa salahnya bila kita menggunakan pembandingan berganda, misalnya uji Duncan? Tidak ada yang salah, tetapi kalau ini kita lakukan kita menjadi lebih mementingkan statistika daripada teori ilmu pertanian yang telah kita pelajari. Bukankah dalam teori kita sudah diajarkan bahwa tumbuhan legum mempunyai kandungan N yang tinggi sehingga seharusnya lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan lain bila dijadikan kompos? Dengan menggunakan uji pembandingan ganda hal ini tidak bisa kita lakukan sebab kita harus membandingkan setiap pasangan yang mungkin, yaitu kompos daun chromolaena vs kompos daun gamal, kompos daun chromolaena vs kompos daun turi, dan kompos daun gamal vs kompos daun turi. Dengan pembandingan seperti ini tentu saja kita akan ditertawakan bila kemudian dalam pembahasan kita menyatakan, misalnya, bahwa kompos daun gamal lebih baik daripada kompos daun chromolaena karena gamal adalah tumbuhan legum. Bukankah turi juga tergolong tumbuhan legum?

Bagaimana bila taraf perlakuan bersifat kuantitatif sebagaimana misalnya dosis pupuk kompos daun chromolaena 50, 100, dan 150 kg per hektar, bukankah juga bisa kita bandingkan dengan uji pembandingan ganda? Jawabannya bergantung pada apa yang dimaksud dengan kata “bisa” di sini. Kalau yang dimaksud adalah segi menghitungnya, jawabannya tentu sangat bisa dan sangat mudah dilakukan, apalagi dengan bantuan program aplikasi statistika semacam Minitab atau SPSS yang tinggal mengklik pilihan. Tetapi bila yang dimaksud dengan bisa adalah tepat, maka jawabannya adalah tidak tepat. Mengapa? Karena uji pembandingan ganda sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa kita tidak mengetahui jarak antar taraf perlakuan yang akan kita perbandingkan. Dalam contoh ini kita tahu pasti bahwa 150 kg > 100 kg >50 kg dengan jarak 50 kg. Sebelum melakukan uji pembandingan ganda pun sebenarnya kita sudah tahu bahwa taraf 150 kg akan memberikan hasil lebih tinggi daripada hasil dari dosis 100 kg, atau kalau tidak, daripada hasil dari dosis 50 kg. Mengapa? Karena semua orang tahu bahwa makan dua piring nasi akan membuat perut lebih kenyang daripada makan satu piring nasi yang ukurannya sama. Kalau dua piring ternyata juga belum kenyang, mengapa tidak tiga piring saja? Kalau ini sampai terjadi berarati kita tidak tahu kapasitas perut kita sendiri. Kalau kemudian dari ketiga dosis yang kita pilih tidak ada yang memberikan hasil yang berbeda nyata, persoalannya hanyalah soal menetapkan dosis. Kalau jarak antar dosis kita buat lebih tinggi, pasti nanti hasilnya akan berbeda nyata juga.

Lalu uji lanjutan apakah yang tepat untuk perlakuan bertaraf kuantitatif seperti ini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan, uji polinomial ortogonal. Dengan menggunakan uji polinomial ortogonal kita akan mengetahui pangkat tertinggi yang dapat kita gunakan terhadap peubah bebas dalam persamaan regresi hubungan antara dosis pupuk kompos dengan hasil tanaman. Misalkan perlakuan -yang dalam hal ini adalah peubah bebas- kita nyatakan sebagai X dan hasil -dalam hal ini peubah tidak bebas- kita nyatakan sebagai Y. Dengan uji polinomial ortogonal kita akan menentukan pangkat tertinggi yang dapat kita berikan terhadap X dalam menentukan Y dalam persamaan Y=f(Xn), di mana n adalah pangkat tertinggi yang mungkin. Sesuai dengan ketentuan polinomial ortogonal, pangkat tertinggi yang mungkin terhadap X adalah n-1. Mengingat terdapat tiga taraf dosis maka pangkat tertinggi yang mungkin adalah 2, sedangkan pangkat lainnya adalah 1. Uji polinomial ortogonal diperlukan untuk menentukan di antara dua kemungkinnan ini, yaitu pangkat 1 dan pangkat 2, yang manakah yang nyata sehingga dapat digunakan. Bila pangkat 1 dan pangkat 2 ternyata masing-masing adalah berbeda nyata terhadap 0 maka pengaruh dosis terhadap hasil dapat kita nyatakan dalam persamaan Y=a + bX + cX2, dengan a, b, dan c adalah koefisien persamaan yang dapat kita tentukan dengan melakukan analisis regresi.

Apa kelebihan penggunaan uji polinomial ortogonal ini dibandingkan dengan uji pembandingan ganda? Dengan menggunakan persamaan regresi yang dihasilkan kita dapat menentukan hasil yang diperoleh di luar dosis yang dicobakan tetapi masih dalam kisaran dosis uji. Misalnya, kita dapat menentukan berapa hasil yang akan diperoleh bila pemupukan dilakukan dengan dosis 80 kg per hektar, tetapi tidak untuk menentukan hasil dari dosis 200 kg per hektar. Hal ini tentu tidak dapat kita lakukan bila uji yang kita gunakan adalah uji pembandingan ganda yang dicontoh dari buku-buku teks perancangan percobaan di Indonesia. Steel dan Torrie (1960), dalam buku klasiknya Principles and Procedures of Statistics, tidak pernah memberikan contoh penggunaan uji pembandingan ganda untuk melakukan uji lanjutan terhadap hasil analisis ragam perlakuan yang bertaraf kuantitatif.

Saya masih ingat betul obrolan dengan profesor Statistika Lanjutan di kampus saya dahulu bahwa kalau belajar statistika pelajarilah sebagai cara berpikir, bukan sekedar cara berhitung. Obrolan minum kopi itu selalu terngiang di kepala saya, manakala saya membuka-buka skripsi, tesis, disertasi, maupun laporan penelitian yang penuh penuh dengan notasi statistika, tetapi sepertinya belum dapat menggunakan statistika sebagai instrumen penelitian secara tepat. Padahal, kalau yang kita potong hanyalah sebatang rumput, tidak seharusnyalah kita menggunakan kampak, apalagi chain saw. Tetapi di sini, di negeri tercinta ini, statistika seakan-akan dijadikan jaminan bahwa dengan menggunakan analisis statistika maka penelitian yang dilakukan akan benar-benar menjadi ilmiah. Meskipun kemudian, dalam penggunaannya, sering dilakukan secara salah kaprah.

6 komentar:

makasih bapak atas pemahamannya tentang penggunaan uji lanjutan, dgn begtu saya akan menggunakan uji lanjutan polinomial karena penelitian saya yaitu kuantitatif,...
bapak kalau bisa masukkan di blok juga tentang ketiga pengujian lanjutan tersebut sebagai referensi buat kami mahasiswa.

Tulisan saya dapat digunakan sebagai referensi (dalam arti untuk digunakan sebagai bahan belajar). Ketiga uji lanjut yang saya maksud adalah uji pembandingngan ganda (multiple comparison) semacam uji Duncan dan sejenisnya, uji kontras ortogonal, dan uji polinomial ortogonal. Saya akan menuliskannya nanti dengan contoh, tunggu saja.

maaf Bapak,pengen nanya,saya lagi mengerjakan skripsi,saya menerapkan metode rancangan acak kelompok,analisis lanjut apakah yang paling cocok saya pakai??apakah duncan atau scott-knott?apa keunggulan masing masingnya...?terima kasih

Saya tidak bisa menentukan uji lanjut yang tepat hanya berdasarkan rancangan lingkungan yang digunakan (dalam hal ini RAK). Untuk menentukan uji lanjut yang tepat, perlu dipertimbangkan perlakuan yang dicobakan, apakah bersifat kualitatif (misalnya varietas)atau kuantitatif (misalnya dosis pestisida). Dalam hal ini, untuk perlakuan kualitatif dapat digunakan uji pembandingan ganda (multiple comparison) atau uji pembandingan ortogonal (orthogonal contrast), sedangkan untuk perlakuan kualitatif sebaiknya digunakan uji polinomial ortogonal dilanjutkan dengan analisis regresi. Untuk uji pembandingan ganda, terdapat bermacam-macam uji. Bila analysis dilakukan dengan menggunakan komputer dapat dikerjakan semua jenis uji sekaligus dan kemudian dipilih hasilnya dengan mempertimbangkan tujuan penelitian.

Saya setuju sekali dengan pendapat anda. Bahwa kalau belajar statistika pelajarilah sebagai cara berpikir, bukan sekedar cara berhitung. Selama ini saya juga selalu terfikirkan, mengapa saya dan semua teman saya cenderung mempelajari statistika hanya sebatas cara berhitung. Kemudian saya mencoba untuk mempelajari statistika dengan "berpikir", walau hanya melalui internet. Ingin rasanya setiap hari saya menjejali otak saya dengan hal itu karena tingginya rasa penasaran saya akan "cara berpikir statistik", namun apa daya sebagai mahasiswa teknik waktu saya bukan hanya untuk statistika :(
Senang rasanya di tengah kegalauan mempelajari suatu bab statistika, menemukan artikel ini. Nice post! :)

Alhamdulillah tulisan bapak sangat bermanfaat bagi saya yang sedang menyusun skripsi. terima kasih banyak pak

Posting Komentar

Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.

Bila Anda perlu membuat deskripsi tanaman sebagai bagian dari penyusunan proposal penelitian atau skripsi, kunjungi blog Tanaman Kampung atau Tumbuhan Bali, mudah-mudahan bisa membantu.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites