Suatu saat seorang kolega datang ke rumah untuk mendiskusikan penulisan proposal disertasinya. Setelah berdiskusi mengenai proposal disertasinya, saya dan dia berdiskusi banyak hal mengenai keprihatinan terhadap dunia akademik kita saat ini. Mulai dari kurikulum berbasis kompetisi untuk menghasilkan lulusan berstandar "tukang" sampai pendidikan yang seharusnya mengubah dunia untuk lebih memanusiakan manusia. Ujung-ujungnya, diskusi sampai juga pada hal-hal yang bagi sebagian orang mungkin sepele, tetapi sebenarnya justeru penting untuk dicermati. Dia bilang, sekarang orang berlomba-lomba menjadi doktor dan guru besar. Saya jawab itu bagus asalkan orang yang0bergelar doktor dan berjabatan gurubesar mampu menunjukkan jati diri kedoktorannya dan kegurubesarannya. Tapi kemudian dia menyodorkan buku orasi seorang guru besar untuk saya baca. Sebagai guru kecil, saya merasa mendapat kehormatan untuk membaca buku orasi guru besar.
Orasi itu mengenai jenis tumbuhan yang terdapat di NTT. Tumbuhan tersebut tumbuh liar karena sampai saat ini belum ada yang menanamnya sehingga tidak dapat disebut sebagai tanaman. Tetapi di dalam buku sekaliber orasi guru besar, tumbuhan tersebut disebut tanaman. Saya agak kaget juga. Saya pikir yang dimaksud adalah tumbuhan tersebut dalam fungsinya sebagai tanaman hias. Tumbuhan ini memang telah pernah ditanam di Kupang sebagai tanaman hias, tetapi keberhasilannya sangat rendah. Siapapun yang pernah belajar ilmu pertanian seharusnya tahu bahwa tumbuhan berbeda dengan tanaman. Dan seorang guru besar, tentu saja harus memberikan contoh bagaimana seharusnya menggunakan istilah dengan cermat.
Saya masih melanjutkan membaca. Dalam sebuah orasi guru besar, tentu saja tumbuhan harus diberi nama ilmiah. Demikian juga tumbuhan dalam orasi yang saya baca, dicantumkan nama ilmiahnya. Dalam menulis sebuah orasi guru besar, orang tentu harus hati-hati pula mencantumkan pustaka sebagai rujukan nama ilmiah. Pustaka yang digunakan sebagai rujukan nama ilmiah seharusnya merupakan pustaka dalam bidang taksonomi. Tapi setelah saya telusuri referensinya, ternyata yang dirujuk adalah buku James Fox. Siapapun tahun bahwa Fox bukan pakar taksonomi, melainkan pakar antropologi sosial. Dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku, Fox memang menyebut nama ilmiah yang kemudian dirujuk dalam orasi sang guru besar. Sebagai seorang antropolog tentu saja Fox bukan pemegang otoritas apapun di bidang taksonomi. Dia boleh mengusulkan nama ilmiah apapun, tetapi sepanjang nama tersebut belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bidang taksonomi maka nama yang digunakannya bukanlah nama yang valid. Dalam hati saya teringat mahasiswa saya yang ketika menyusun deskripsi mengenai tanaman dia menggunakan buku penyuluhan terbitan AAK sebagai sumber. Saya selalu menyarankan untuk mengubahnya untuk membuat deskripsi tumbuhan dengan merujuk buku teks yang berkaitan dengan taksonomi.
Kemudian mengenai cara menuliskan nama ilmiah. Saya kira, mahasiswa S1 pasti sebagian besar tahu bahwa dalam nama ilmiax, nama epitet spesies selalu ditulis dengan huruf awal huruf kecil. Tapi yang saya temukan dalam buku orasi guru besar ini, semua nama epitet spesies ditulis dengan huruf awal huruf kapital. Misalnya, Oryza sativa ditulis Oryza Sativa. Dalam hati saya berpikir, mungkin aturan ini sudah diubah dalam ICBN (International Convention on Botanical Nomenclature). Sebab seorang guru besar tentu saja harus tunduk pada aturan ICBN dalam menuliskan nama ilmiah tumbuhan. Maka saya pun mengontak teman saya di CSIRO, Australia, yang kebetulan hadir pada konferensi taksonomi terakhir di Melbourne. Kata teman saya, tidak ada perubahan soal cara penulisan nama ilmiah, yang ada hanya perubahan mengenai penggunaan bahasa Latin dalam membuat deskripsi tumbuhan yang diusulkan penamaannya. Berarti, guru besar ini menggunakan aturannya sendiri.
Guru besar, seperti halnya gelar doktor, di Indonesia ini sepertinya telah menjadi segala-galanya bagi sebagian besar orang yang bekerja sebagai dosen. Apapun ditempuh untuk mencapai jabatan guru besar. Pasalnya, guru besar mendapat tunjangan yang lumayan besar. Selain itu, jabatan guru besar dan gelar doktor di negeri ini juga telah berubah fungsi dari sekedar atribut pendidikan seseorang menjadi kasta baru di kalangan akademisi. Jabatan guru besar seolah-olah telah menjadikan orang yang menyandangnya sebagai kaum Brahmana. Kalau pun ada seorang sudra yang paham benar mengenai weda maka pemahaman orang sudra itu tetap mempunyai otoritas lebih rendah daripada yang dikatakan oleh seorang brahmana. Maka nama ilmiah yang ditulis dengan merujuk pustaka antropologi dan ditulis dengan nama epitet spesies yang ditulis dengan huruf awal huruf kapital akan menjadi benar karena ditulis oleh seorang guru besar. Dahulu, sebelum sang guru besar menjadi guru besar, saya pernah menjadi reviewer proposal penelitiannya. Saya pernah menyarankan penggunaan nama ilmiah valid untuk tumbuhan yang oleh sang guru besar disebut tanaman, tetapi apalah artinya. Saya hanyalah seorang guru kecil. Dalam bidang akademik di Indonesia, seorang akademisi yang tidak menyandang gelar Dr dan bukan seorang guru besar, tidak ada bedanya dengan seorang sudra.
Sebagai seorang guru kecil saya hanya bisa menyampaikan kepada mahasiswa yang saya bimbing. Di kalangan akademisi global, gelar doktor dan jabatan guru besar itu hanya sekedar predikat. Dosen pembimbing saya selalu menasihati saya,"Wayan, PhD is only a small thing in your life. To be a PhD may be important, but the more important thing is how to make your PhD meaningful. The more important thing is not PhD itself, but how to live your life as a PhD." Saya tidak membantah, bukan karena dia pembimbing saya. Di luar negeri seorang guru besar menganggap bantahan sebagai ruang untuk membuka wawasan. Saya tidak membantah karena tahu bahwa gelar doktor dan jabatan guru besar di Indonesia telah menjadi kasta yang mengubah seseorang menjadi seorang brahmana. Meskipun pada akhirnya, dalam kehidupan sehari-hari, brahmana tersebut berperilaku sebagai pemulung. Dalam membuat tulisan ilmiah sang guru besar hanya mampu mengutip dari sana sini, bahkan dari tong sampah yang salah (mengutip nama ilmiah dari tulisan seorang antropolog), tanpa mampu menampilkan gagasannya sendiri.
Saya pun menjadi gamang. Apa jadinya dunia akademik di negeri ini kelak. Mahasiswa mungkin akan menertawakan saya, "Pak Wayan, pak boleh saja mengkritik, tapi dia itu sekarang seorang guru besar. Seorang guru besar tidak akan peduli dengan apa yang pak katakan." Terima kasih para mahasiswa, silahkan kalian menertawakan saya. Tapi di luar sana, sang guru besar yang akan ditertawakan.
Orasi itu mengenai jenis tumbuhan yang terdapat di NTT. Tumbuhan tersebut tumbuh liar karena sampai saat ini belum ada yang menanamnya sehingga tidak dapat disebut sebagai tanaman. Tetapi di dalam buku sekaliber orasi guru besar, tumbuhan tersebut disebut tanaman. Saya agak kaget juga. Saya pikir yang dimaksud adalah tumbuhan tersebut dalam fungsinya sebagai tanaman hias. Tumbuhan ini memang telah pernah ditanam di Kupang sebagai tanaman hias, tetapi keberhasilannya sangat rendah. Siapapun yang pernah belajar ilmu pertanian seharusnya tahu bahwa tumbuhan berbeda dengan tanaman. Dan seorang guru besar, tentu saja harus memberikan contoh bagaimana seharusnya menggunakan istilah dengan cermat.
Saya masih melanjutkan membaca. Dalam sebuah orasi guru besar, tentu saja tumbuhan harus diberi nama ilmiah. Demikian juga tumbuhan dalam orasi yang saya baca, dicantumkan nama ilmiahnya. Dalam menulis sebuah orasi guru besar, orang tentu harus hati-hati pula mencantumkan pustaka sebagai rujukan nama ilmiah. Pustaka yang digunakan sebagai rujukan nama ilmiah seharusnya merupakan pustaka dalam bidang taksonomi. Tapi setelah saya telusuri referensinya, ternyata yang dirujuk adalah buku James Fox. Siapapun tahun bahwa Fox bukan pakar taksonomi, melainkan pakar antropologi sosial. Dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan sebagai buku, Fox memang menyebut nama ilmiah yang kemudian dirujuk dalam orasi sang guru besar. Sebagai seorang antropolog tentu saja Fox bukan pemegang otoritas apapun di bidang taksonomi. Dia boleh mengusulkan nama ilmiah apapun, tetapi sepanjang nama tersebut belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bidang taksonomi maka nama yang digunakannya bukanlah nama yang valid. Dalam hati saya teringat mahasiswa saya yang ketika menyusun deskripsi mengenai tanaman dia menggunakan buku penyuluhan terbitan AAK sebagai sumber. Saya selalu menyarankan untuk mengubahnya untuk membuat deskripsi tumbuhan dengan merujuk buku teks yang berkaitan dengan taksonomi.
Kemudian mengenai cara menuliskan nama ilmiah. Saya kira, mahasiswa S1 pasti sebagian besar tahu bahwa dalam nama ilmiax, nama epitet spesies selalu ditulis dengan huruf awal huruf kecil. Tapi yang saya temukan dalam buku orasi guru besar ini, semua nama epitet spesies ditulis dengan huruf awal huruf kapital. Misalnya, Oryza sativa ditulis Oryza Sativa. Dalam hati saya berpikir, mungkin aturan ini sudah diubah dalam ICBN (International Convention on Botanical Nomenclature). Sebab seorang guru besar tentu saja harus tunduk pada aturan ICBN dalam menuliskan nama ilmiah tumbuhan. Maka saya pun mengontak teman saya di CSIRO, Australia, yang kebetulan hadir pada konferensi taksonomi terakhir di Melbourne. Kata teman saya, tidak ada perubahan soal cara penulisan nama ilmiah, yang ada hanya perubahan mengenai penggunaan bahasa Latin dalam membuat deskripsi tumbuhan yang diusulkan penamaannya. Berarti, guru besar ini menggunakan aturannya sendiri.
Guru besar, seperti halnya gelar doktor, di Indonesia ini sepertinya telah menjadi segala-galanya bagi sebagian besar orang yang bekerja sebagai dosen. Apapun ditempuh untuk mencapai jabatan guru besar. Pasalnya, guru besar mendapat tunjangan yang lumayan besar. Selain itu, jabatan guru besar dan gelar doktor di negeri ini juga telah berubah fungsi dari sekedar atribut pendidikan seseorang menjadi kasta baru di kalangan akademisi. Jabatan guru besar seolah-olah telah menjadikan orang yang menyandangnya sebagai kaum Brahmana. Kalau pun ada seorang sudra yang paham benar mengenai weda maka pemahaman orang sudra itu tetap mempunyai otoritas lebih rendah daripada yang dikatakan oleh seorang brahmana. Maka nama ilmiah yang ditulis dengan merujuk pustaka antropologi dan ditulis dengan nama epitet spesies yang ditulis dengan huruf awal huruf kapital akan menjadi benar karena ditulis oleh seorang guru besar. Dahulu, sebelum sang guru besar menjadi guru besar, saya pernah menjadi reviewer proposal penelitiannya. Saya pernah menyarankan penggunaan nama ilmiah valid untuk tumbuhan yang oleh sang guru besar disebut tanaman, tetapi apalah artinya. Saya hanyalah seorang guru kecil. Dalam bidang akademik di Indonesia, seorang akademisi yang tidak menyandang gelar Dr dan bukan seorang guru besar, tidak ada bedanya dengan seorang sudra.
Sebagai seorang guru kecil saya hanya bisa menyampaikan kepada mahasiswa yang saya bimbing. Di kalangan akademisi global, gelar doktor dan jabatan guru besar itu hanya sekedar predikat. Dosen pembimbing saya selalu menasihati saya,"Wayan, PhD is only a small thing in your life. To be a PhD may be important, but the more important thing is how to make your PhD meaningful. The more important thing is not PhD itself, but how to live your life as a PhD." Saya tidak membantah, bukan karena dia pembimbing saya. Di luar negeri seorang guru besar menganggap bantahan sebagai ruang untuk membuka wawasan. Saya tidak membantah karena tahu bahwa gelar doktor dan jabatan guru besar di Indonesia telah menjadi kasta yang mengubah seseorang menjadi seorang brahmana. Meskipun pada akhirnya, dalam kehidupan sehari-hari, brahmana tersebut berperilaku sebagai pemulung. Dalam membuat tulisan ilmiah sang guru besar hanya mampu mengutip dari sana sini, bahkan dari tong sampah yang salah (mengutip nama ilmiah dari tulisan seorang antropolog), tanpa mampu menampilkan gagasannya sendiri.
Saya pun menjadi gamang. Apa jadinya dunia akademik di negeri ini kelak. Mahasiswa mungkin akan menertawakan saya, "Pak Wayan, pak boleh saja mengkritik, tapi dia itu sekarang seorang guru besar. Seorang guru besar tidak akan peduli dengan apa yang pak katakan." Terima kasih para mahasiswa, silahkan kalian menertawakan saya. Tapi di luar sana, sang guru besar yang akan ditertawakan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.