Selama ini kita di Fakultas Pertanian tahu hanya penelitian kuantitatif. Kita merasa paling jago kalau sudah berbicara signifikan atau nyata. Padahal significan atau nyata itu apa? Berapa di antara kita yang benar-benar dapat menjelaskan signifikan atau nyata itu apa? Dan apa pula manfaatnya untuk petani?
Kalau kita melakukan survei kita akan menanyakan angka-angka. Berapa luas usahatani? Berapa produksinya? Berapa jumlah tanaman yang terkena penyakit? Pokoknya serba angka. Kalau pun ada pertanyaan yang jawabannya bukan angka, kita ubah jawaban bukan angka itu menjadi skor. Kemudian kita analisis skor itu seolah-olah adalah angka biasa? Apa memang harus begitu? Apa memang data harus kualitatif?
Kemudian kita melakukan analisis data. Analisis kuantitatif paling sederhana adalah analisis deskriptif, kita mencari rerata dan simpangan baku. Lalu berdasarkan atas angka rata-rata ini kita berbicara kemiskinan dan pengentasan kemiskinan. Padahal kemiskinan bukanlah angka rata-rata. Kemiskinan adalah angka di bawah rata-rata, jauh di bawah, di tempat paling bawah. Maka tidak mengherankan, program pengentasan kemiskinan tidak membuat yang miskin menjadi sejahtera, justeru yang kaya menjadi semakin kaya. Karena kalau intervensi dilakukan berdasarkan angka rata-rata maka yang diuntungkan selalu yang kaya, yang terletak di atas rata-rata.
Penelitian kualitatif mencoba melihat fenomena bukan sekedar sebatas angka-angka. Penelitian kualitatif menyediakan banyak sudut untuk melihat fenomena, dari depan, samping kiri, samping kanan, samping atas, silahkan saja. Apakah mau menggunakan sudut positivisme-pascapositivisme, interpretivisme, konstruktivisme, teori kritis, silahkan saja. Bukan seperti penelitian kuantitatif, yang selalu berusaha untuk berdiri tegak seobyektif mungkin, penelitian kualitatif tidak harus begitu. Bila yang dipilih adalah sudut pandang teori kritis maka penelitian harus berpihak kepada yang tertindas. Tanpa keberpihakan maka tidak akan ada perubahan bagi yang tertindas dan tanpa perubahan maka tidak ada kebenaran.
Kalau kita melakukan survei kita akan menanyakan angka-angka. Berapa luas usahatani? Berapa produksinya? Berapa jumlah tanaman yang terkena penyakit? Pokoknya serba angka. Kalau pun ada pertanyaan yang jawabannya bukan angka, kita ubah jawaban bukan angka itu menjadi skor. Kemudian kita analisis skor itu seolah-olah adalah angka biasa? Apa memang harus begitu? Apa memang data harus kualitatif?
Kemudian kita melakukan analisis data. Analisis kuantitatif paling sederhana adalah analisis deskriptif, kita mencari rerata dan simpangan baku. Lalu berdasarkan atas angka rata-rata ini kita berbicara kemiskinan dan pengentasan kemiskinan. Padahal kemiskinan bukanlah angka rata-rata. Kemiskinan adalah angka di bawah rata-rata, jauh di bawah, di tempat paling bawah. Maka tidak mengherankan, program pengentasan kemiskinan tidak membuat yang miskin menjadi sejahtera, justeru yang kaya menjadi semakin kaya. Karena kalau intervensi dilakukan berdasarkan angka rata-rata maka yang diuntungkan selalu yang kaya, yang terletak di atas rata-rata.
Penelitian kualitatif mencoba melihat fenomena bukan sekedar sebatas angka-angka. Penelitian kualitatif menyediakan banyak sudut untuk melihat fenomena, dari depan, samping kiri, samping kanan, samping atas, silahkan saja. Apakah mau menggunakan sudut positivisme-pascapositivisme, interpretivisme, konstruktivisme, teori kritis, silahkan saja. Bukan seperti penelitian kuantitatif, yang selalu berusaha untuk berdiri tegak seobyektif mungkin, penelitian kualitatif tidak harus begitu. Bila yang dipilih adalah sudut pandang teori kritis maka penelitian harus berpihak kepada yang tertindas. Tanpa keberpihakan maka tidak akan ada perubahan bagi yang tertindas dan tanpa perubahan maka tidak ada kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan ketik komentar pada kotak di bawah ini.